Fear of Missing Out (FOMO): Beberapa Penyebab dan Solusinya

click fraud protection
mikoto Fotografer mentah Pexels

Sumber: Fotografer mentah mikoto / Pexels

Takut of missing out (FOMO) didefinisikan sebagai kekhawatiran akan ketidakhadiran atau mengabaikan pengalaman sosial yang bermanfaat. Untuk menghindari "kehilangan" pengalaman-pengalaman ini, di zaman modern, banyak orang terdorong untuk tetap terhubung media sosial.

Sayangnya, koneksi online tersebut tidak selalu memenuhi kebutuhan psikologis dan sosial kita dan bahkan mungkin menyoroti pengalaman tambahan yang kita lewatkan. Akibatnya, masalah FOMO saat ini terus berkembang.

Sifat umum FOMO adalah masalah manusia lama yang terlalu diketahui para ekonom. Ketika diberi pilihan, kita semua ingin tahu cara terbaik untuk menggunakan waktu dan sumber daya kita yang terbatas. Kita semua ingin memilih peluang terbaik dan merasakan kerugian ketika kita melewatkannya. Jadi, bagaimana kita bisa menggabungkan wawasan dari psikologi dan ekonomi untuk membantu kita mengambil keputusan yang lebih baik dan mengeluarkan kita dari siklus FOMO? Penelitian punya jawabannya.

Psikologi dan FOMO

Karya Przybylski, Murayama, DeHaan, dan Gladwell (2013) mengevaluasi FOMO dari perspektif psikologis. Mereka mulai dengan membuat kuesioner untuk mengukur perasaan masyarakat terhadap FOMO. Beberapa pertanyaan mengevaluasi ketakutan yang dialami teman atau orang lain "memiliki pengalaman yang lebih berharga daripada saya." Pertanyaan lainnya mengeksplorasi perasaan negatif yang muncul ketika seseorang"tidak tahu apa yang sedang dilakukan teman-temannya" dan terpaksa "bagikan detail secara online." Secara keseluruhan, semakin seseorang merasakan perasaan negatif ini dan terpaksa menggunakan media sosial, semakin banyak pula FOMO yang mereka alami.

Dalam studi lanjutan, Przybylski dkk (2013) melihat bagaimana FOMO terkait dengan motivasi dan perilaku. Mereka berfokus pada beberapa kebutuhan dasar yang memotivasi individu dan mendorong penentuan nasib sendiri. Secara khusus, kebutuhan tersebut adalah:

  • Kompetensi: Kebutuhan untuk bertindak secara efektif di dunia.
  • Keterkaitan: Kebutuhan untuk dekat dan terhubung dengan orang lain.
  • Otonomi: Kebutuhan untuk membuat keputusan sendiri dan mengambil inisiatif pribadi.

Tim menemukan bahwa orang yang mengalami FOMO cenderung tidak dapat memenuhi kebutuhannya di tempat lain dalam hidupnya. Mereka tidak merasa kompeten, mempunyai hubungan, atau otonom. Akibatnya suasana hati mereka buruk dan hidup terasa tidak memuaskan.

Dalam upaya memenuhi kebutuhan tersebut dan meningkatkan mood mereka, penderita FOMO beralih ke media sosial. Sayangnya, penggunaan media sosial justru mengganggu dan menimbulkan perasaan campur aduk. Oleh karena itu, mengakses internet terkadang tidak membantu atau bahkan memperburuk situasi—tetapi mengapa?

Ekonomi dan FOMO

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu melihat penelitian terbaru yang dilakukan oleh Good dan Hyman (2020), yang mengeksplorasi FOMO dari sudut pandang ekonomi dan pemasaran perspektif. Dalam ulasan awal, mereka menemukan tiga hal terkait FOMO dan pilihan pembelian:

  • Diantisipasi Iri: Orang yang ingin orang lain iri pada mereka cenderung merasakan FOMO dan membeli sesuatu.
  • Kegembiraan yang Dinanti: Orang yang merasakan kegembiraan saat membayangkan atau berfantasi tentang sesuatu juga lebih mungkin merasakan FOMO dan membeli barang atau pengalaman tersebut.
  • Rasionalisasi yang Menghibur: Sebaliknya, orang yang meluangkan waktu untuk menenangkan diri dan memikirkan keputusannya, cenderung tidak mengalami FOMO atau melakukan pembelian.

Survei selanjutnya yang dilakukan oleh Good dan Hyman (2020) mendukung ketiga dinamika ini dan hubungannya dengan FOMO. Secara khusus, orang yang ingin merasa iri mengalami perasaan FOMO yang paling kuat, diikuti oleh mereka yang ingin merasa gembira. Pada dasarnya, orang-orang seperti itu sangat termotivasi untuk membeli sesuatu tetapi tidak selalu merasa senang karenanya. Hal ini mungkin terjadi karena rasa iri atau kegembiraan tidak benar-benar membantu seseorang merasa lebih kompeten atau terhubung dengan orang lain.

DASAR

  • Apa itu Ketakutan?
  • Temukan konseling untuk melawan rasa takut dan kecemasan

Namun demikian, mereka yang menghibur diri dan memikirkan segala sesuatunya dengan matang tampaknya membuat pilihan yang lebih memuaskan. Alhasil, perasaan mereka terhadap FOMO cenderung berkurang. Daripada terhanyut oleh perasaan takut yang disebabkan oleh faktor eksternal, mereka mungkin lebih mampu memenuhi kebutuhan mereka akan otonomi dan penentuan nasib sendiri.

Berurusan Dengan FOMO

Mengingat hal di atas, kita dapat melihat bahwa kita semua mengalami FOMO. Setiap orang ingin merasa kompeten, terhubung dengan orang lain, dan mampu membuat pilihan sendiri. Setiap orang juga merasa tidak enak ketika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi—dan mencari cara terbaik untuk menghabiskan waktu dan uangnya untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Sayangnya, pemasaran dan media modern terkadang meretas sistem tersebut. Ini menggantikan kompetensi dengan rasa iri dan hubungan dengan kegembiraan. Hal ini membuat kita tetap terhubung dan membeli tetapi pada akhirnya tidak puas. Jadi, kita mengeklik, berselancar, dan membeli, secara lahiriah didorong oleh rasa takut, bukannya dimotivasi oleh otonomi dan penentuan nasib sendiri. Lalu kita bertanya-tanya mengapa kita tidak bahagia.

Bacaan Penting Takut

5 Cara Terhubung dengan Seseorang yang Mengalami Paranoia
Mengapa Fobia Kanker Kita Sudah Kedaluwarsa dan Berbahaya

Jadi, apa yang kita lakukan? Pertama, luangkan waktu sejenak untuk berpikir jernih daripada dimanipulasi oleh rasa takut. Evaluasi sesuatu dari berbagai perspektif. Pertimbangkan apakah Anda memperoleh sesuatu yang berharga dengan berpartisipasi dalam suatu kegiatan. Dengan cara itu, Anda bisa mulai menegaskan otonomi dan kemandirian Anda sendiri.

Berikutnya, pikirkan apakah aktivitas atau peluang tersebut benar-benar membantu Anda menjadi lebih kompeten dan efektif di dunia. Hanya karena orang lain mungkin iri pada Anda karena melakukan sesuatu bukan berarti hal itu akan membuat Anda menjadi orang yang lebih baik. Sedang mengerjakan apa yang dilakukan orang lain atau ingin Anda lakukan tidak selalu yang terbaik bagi Anda. Ingat, Anda tidak benar-benar “kehilangan” sesuatu jika hal itu membuang-buang waktu dan uang Anda untuk melakukannya.

Terakhir, pertimbangkan apakah Anda menyukai orang-orang yang berpartisipasi dalam interaksi sosial. Dipaksa atau dimanipulasi ke dalam hubungan bisa membuatmu sengsara. Jadi, jangan biarkan diri Anda tersesat karena merasa gembira atas a fantasi. Berkumpul dengan orang-orang yang tidak terlalu Anda sukai atau khawatir karena harus terus berkomunikasi dengan mereka secara online tidak membuat Anda merasa bahagia atau terhubung.

Sebaliknya, meluangkan waktu untuk melakukannya dapat membantu membuat keputusan yang baik. Itu akan membantu Anda memilih untuk menghabiskan waktu bersama orang-orang yang benar-benar Anda sukai di kehidupan nyata, melakukan hal-hal yang membuat Anda lebih kompeten dan efektif. Dengan begitu, Anda akan lebih bisa memenuhi kebutuhan dasar sosial dan emosional dan mengurangi rasa takut ketinggalan.

© 2023 oleh Jeremy S. Nicholson, MA, MSW, Ph.D. Seluruh hak cipta.

instagram viewer