6 Perangkap Mental dalam Memprediksi Perasaan Masa Depan

click fraud protection
//commons.wikimedia.org/w/index.php? curid = 15338063
Sumber: Oleh Stefano Novo - Galeri Cyberspace: Galeri ° Info ° Pic, Domain Publik, https://commons.wikimedia.org/w/index.php? curid = 15338063

Seberapa akurat prediksi orang tentang perasaan mereka di masa depan? Memprediksi masa depan secara inheren sulit. Pikiran kita dirancang untuk melihat dunia sebagaimana adanya saat ini, bukan dari sudut pandang orang-orang yang akan kita jadikan (diri kita sebagai pengalam). Ekonomi perilaku memberikan beberapa wawasan tentang cara di mana orang salah memprediksi bagaimana perasaan mereka di acara mendatang (Gilbert dan Wilson, 2007). Menyadari kesalahan-kesalahan ini akan membantu kita mengetahui kapan kita cenderung gagal mengantisipasi perasaan kita sendiri.

1. Penyimpanan memainkan peran kunci dalam pembentukan preferensi. Memori sangat penting untuk respons emosional kita terhadap peristiwa. Misalnya, pengalaman negatif masa lalu dengan individu tertentu memprediksi reaksi emosional seseorang di masa depan terhadap orang itu. Tetapi ingatan kita tentang pengalaman tertentu cenderung dipengaruhi oleh titik paling intens dan akhirnya. Secara umum, cara kita mengingat peristiwa tidak harus terdiri dari agregat setiap momen individu. Sebaliknya, kita cenderung untuk mengingat dan terlalu menekankan momen (terbaik atau terburuk) dan momen terakhir. Ini menjelaskan mengapa biasanya akhir yang buruk menghancurkan seluruh pengalaman.

2. Mengecilkan detail yang tidak penting. Prediksi sering berfokus pada detail penting (mis., Kegembiraan menjadi orang tua) sementara menghilangkan detail yang tidak penting yang dapat memengaruhi masa depan kebahagiaan (mis., bagaimana rasanya mengganti popok atau pergi bekerja tanpa tidur malam sebelumnya). Membayangkan perasaan positif yang terkait dengan mendapatkan pekerjaan baru tetapi gagal mempertimbangkan waktu perjalanan ekstra yang akan datang dengannya. Menyadari kecenderungan manusia untuk fokus pada satu detail sambil mengabaikan yang lain bisa menjadi langkah pertama untuk menghindari hal ini bias.

3. Emosi ini akan berlalu. Orang-orang menyesuaikan diri dengan perubahan dalam keadaan mereka tetapi mereka sering gagal menghargai sejauh mana mereka akan melakukannya (Dolan, 2014). Barang dan jasa material tambahan pada awalnya memberikan kesenangan ekstra, tetapi biasanya bersifat sementara. Kesenangan ekstra hilang. Di sisi lain, hal-hal yang kita takut (mis., perpisahan dan hasil pemilihan) tidak seburuk yang kami kira. Namun, ada beberapa perubahan yang dapat memiliki efek yang bertahan lama, seperti perceraian, pengangguran dan kematian pasangan. Jadi, ketika Anda menemukan diri Anda dalam keadaan pikiran yang tidak menyenangkan, cukup ingatkan diri Anda bahwa "ini juga akan berlalu" untuk menempatkan perspektif pada saat-saat baik dan buruk dalam hidup Anda.

4. Melihat dari satu kondisi emosional ke yang lain. Kita cenderung terperangkap di masa kini dan bertindak seolah-olah preferensi masa depan kita akan lebih seperti preferensi kita saat ini daripada yang sebenarnya. Perasaan kita saat ini memandu apa yang kita inginkan dan nilai emosional apa yang kita tetapkan untuk berbagai hal sekarang. Misalnya, seseorang akan membeli peralatan olahraga baru pada hari ketika penilaiannya (didorong oleh kegembiraan dari resolusi tahun baru) melebihi total biaya (harga beli dan waktu komitmen). Bias ini mendukung masyarakat kuno kebijaksanaan bahwa berbelanja dengan perut kosong membuat orang membeli terlalu banyak. Orang-orang yang kelaparan bertindak seolah-olah selera makanan mereka di masa depan akan mencerminkan rasa lapar seperti itu.

5. Ilusi fokus. Ilusi fokus terjadi ketika orang menempelkan terlalu banyak makna pada fitur berbeda dari pilihan yang mungkin (Kahneman, 2011). Misalnya, dalam memutuskan di mana harus tinggal, orang cenderung fokus pada beberapa aspek utama yang akan mereka nikmati kota baru, seperti pantai atau cuaca hangat, dan mengabaikan yang lain, seperti waktu perjalanan dan kemacetan. Dalam konteks suatu hubungan, bisa dikatakan, memiliki anak akan menyelamatkan anak pernikahan, mengabaikan kenyataan bahwa memiliki bayi menambah banyak menekankan untuk sebuah pernikahan. Inti dari bias ini adalah kegagalan untuk melihat gambaran besarnya.

6. Disonansi kognitif. Dalam dongeng Aesop, rubah berusaha keras untuk mendapatkan anggur yang lezat, tetapi gagal dalam semua upayanya untuk mendapatkan anggur; pada titik mana rubah meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia benar-benar tidak menginginkan anggur yang seburuk itu. Moral dari cerita ini adalah bahwa kita berusaha untuk memastikan bahwa gambaran yang kita miliki tentang diri kita adalah koheren (bukan disonan), yang merupakan sarana untuk mempertahankan evaluasi diri yang positif. Misalnya, ketika seorang pemuda dibuang oleh pacarnya, dia mungkin merasa hancur pada awalnya, tetapi dia mungkin berpikir, "Lagipula, dia tidak sehebat itu" dan akan berhenti merasa sangat sedih. Proses merasionalisasi mengurangi kekuatan emosional peristiwa. Mereka menjadi peristiwa biasa.

instagram viewer